“Bang, ngapain si demen banget ke kuburan?”

“Demen aje, disono kite bisa inget mati, bisa doain ahlil kubur. Intinya mah saling mendoakan itu baik kan, InsyaAllah kalo semasa hidup kite sering berbuat kebaikan, di masa setelah kehidupan kite bisa panen hasil kebaikan itu.”

“Doain kuburan biar banyak rejeki terus segala urusan kite dipermudah ye bang?”

“Bukan tong, berdoa itu kepada Allah SWT bukan ke kuburan. Nyang dikuburin kan sama kayak kita manusia biasa, bedanya beliau-beliau ini adalah ulama yang berjasa dalam menyebarkan agama islam. Makanye dengan ziarah gini bisa juga sebagai wujud syukur atas jasa dan perjuangan beliau semasa hidupnya. Nah salah satu bentuk syukurnya, bisa dengan kite mendoakan beliau.”

“Hmm gitu ya.. Lha emangnye si empunya kubur bisa nerima doa yang kite kirimin bang?”

“Biar ada bukti kongkrit nih ye, coba elu duluan dikuburin, entar gua doain dari sini, gimane tong?”

“Yee sa ae lu bang”


Assalamu’alaikum…

Beli ragi di warungnye caca
Ragi dibeli buat bikin tape uli
Jumpa lagi nih para pembaca
Semoga pada betah ye di blog ini

Ehehehe udahan ye pake betawi-annye, biar lidahnye gak pade pegel.

Tulisan kali ini akan membahas perjalanan ziarah yang Alhamdulillah sempat saya jalankan dalam beberapa hari terakhir. Kalau dilihat dari judulnya agak aneh ya, karena ada nama Pangeran Diponegoro disitu. Padahal Pangeran Diponegoro dimakamkan di Makassar sedangkan Wali Songo dan Syekh Ibrahim Asmoro Qondi di Jawa Timur.

Ya memang tempatnya terpaut jauh, tapi dengan izin Allah SWT saya bisa menziarahi makam Pangeran Diponegoro di Makassar, pada tanggal 30 Agustus 2017 yang lalu. Sedangkan ziarah 5 wali baru hari kemarin dan hari ini (1 September - 2 September 2017).

Saya akan ceritakan perjalanan ziarah ini berdasarkan urutan waktu ya, semoga bisa menginspirasi para pembaca juga untuk berziarah ke makam beliau-beliau ini.

Pangeran Diponegoro

Berawal dari “hadiah” jalan-jalan yang diberikan oleh YnC Telkomsel Surabaya untuk para Ambassador Telkomsel, saya berkesempatan menjadi salah seorang peserta yang diajak pergi ke Makassar.

Tentunya kesempatan ini tak saya sia-siakan begitu saja, saya bertekad untuk menziarahi makam wali di Tanah Angin Mamiri, Makassar. Awalnya tau informasi mengenai makam Pangeran Diponegoro ini dari majalah yang disediakan maskapai penerbangan saat terbang menuju Makassar. Disitu diceritakan kisah Pangeran Diponegoro beserta penjelasan tentang makam beliau yang juga ada di kota tersebut.

Dalam hati : Gua harus ziarah ke makam beliau!

Singkat cerita, di malam hari kedua acara yaitu tanggal 30 Agustus 2017 sekitar jam 22.00 WITA saya berangkat dari hotel menuju makam Pangeran Diponegoro menggunakan ojek online. Bermodalkan informasi dari majalah dan google, saya melakukan perjalanan bersama bapak ojek ber-platnomor motor B yang notabene dari Jakarta. Saya sempat senang ketemu orang Jakarta, tapi ternyata bapaknya hanya sempat kerja sebentar di Jakarta terus pindah ke Makassar (oke ini gak penting).

Dari hotel saya yang lokasinya dekat pantai Losari menuju makam beliau memakan waktu sekitar 15 menit. Tiba di depan area makam, pagarnya terlihat digembok dari dalam. Ketika saya mendekat dan mengucapkan salam “Assalamu’alaikum, permisi”, tiba-tiba ada seseorang dari dalam berkata “Alhamdulillah!”.

Seorang bapak-bapak berusia sekitar 50 tahunan menyambut saya sambil membukakan kunci gerbang. Saya menyampaikan maksud saya untuk berziarah ke makam Pangeran Diponegoro dan si bapak terlihat senang dengan kedatangan saya. Percakapan awal saya dengan si bapak :

Bapak : “Kebetulan bapak kesini pas ada saya lagi di makam mau membereskan sampah, padahal biasanya setelah sholat Isya makam saya tutup dan saya pulang ke rumah. Rumah saya pun agak jauh dari sini”

Saya : “Oh jadi biasanya makam jam segini ditutup ya pak? Kalau ada yang mau ziarah gimana?”

Bapak : “Iya pak, ini kebetulan sekali mungkin rejekinya bapak pas kesini ada saya. Biasanya kan saya tutup. Jarang juga ada yang ziarah malam-malam, paling kalau ada itu orang yang dari luar pulau, bukan orang asli Makassar. Bapak ini asli mana tho?”

Saya : “Saya asli dari Jakarta pak hehe”

Bapak : “Oh ya silahkan silahkan, nanti kita lanjutkan obrolan setelah bapak selesai berdoa saja”

Sungguh sambutan hangat yang ramah dari bapak penjaga makam yang membuat suasana malam hari di makam semakin nyaman untuk saya melakukan ziarah. Sebelum beranjak meninggalkan saya sendiri di samping makam, si bapak sempat menjelaskan yang mana makam Pangeran Diponegoro, makam istrinya, makam keenam anaknya, makam cucunya, makam pengikut setianya, dan si bapak pun sebenarnya keturunan ke-5 dari Pangeran Diponegoro. Ya, area makam ini hanya diisi oleh ahli keluarga Pangeran Diponegoro dan pengikutnya.

Berikut foto makam Pangeran Diponegoro yang sempat saya ambil :

Setelah selesai berdoa saya berjalan menuju serambi area makam yang disana ada beberapa sofa yang memang disediakan untuk tamu peziarah. Disana setelah mengisi buku tamu saya mendengarkan kisah dari si bapak mengenai kisah Pangeran Diponegoro, si bapak menceritakan kisah Pangeran Diponegoro yang merupakan anak dari Sultan Hamengku Buwono III.

Mulai awalnya Pangeran ditangkap oleh Belanda dan dibawa ke Sunda Kelapa, beliau berkata bahwa Pangeran Jayakarta adalah salah satu pengikut Pangeran Diponegoro. Saya semakin antusias, karena saya juga sempat beberapa kali ziarah ke makam Pangeran Jayakarta karena lokasinya tidak jauh dari rumah saya di Jakarta.

Ketika ditahan di Sunda Kelapa, karena banyaknya pengikut Pangeran yang selalu mengikuti dan Belanda tidak ingin adanya pemberontakan maka Pangeran Diponegoro dipindah-pindahkan lokasi tahanannya, hingga terakhir Pangeran Diponegoro ditahan di benteng Fort Rotterdam Makassar. Selama 20-an tahun Pangeran Diponegoro ditahan hingga akhir hayatnya, dalam sebuah ruang tahanan kecil di benteng tersebut.

Istri dan anak-anak Pangeran pun menyusul tinggal di Makassar. Hingga akhir hayatnya keluarga Pangeran tinggal di Makassar dan Belanda memberikan sebidang tanah untuk area makam Pangeran Diponegoro dan keluarganya. Keturunannya pun membaur dalam masyarakat Makassar hingga tidak tersisa lagi logat Jawa dari anak cucu Pangeran Diponegoro. Termasuk si bapak yang menceritakan kisah ini sambil disertai dengan lawakan sedikit bahwa ia sudah tidak bisa lagi bahawa Jawa, mengingat ia adalah keturunan ke-5, logat bahasanya sangat Makassar sekali.

Sekitar satu jam saya berada di area makam, hingga sekitar pukul 23.10 WITA saya pamit kepada si bapak untuk kembali ke hotel. Namun ada satu hal yang terlupa, saya lupa menanyakan nama bapaknya siapa.

Sunan Ampel

Setelah kembali ke Surabaya dari Makassar, keesokan harinya saya melanjutkan perjalanan ziarah di tanah Jawa.

Perjalanan ziarah 5 wali dimulai dari Sunan Ampel, berangkat dari kosan daerah Sukolilo sekitar pukul 21.30 WIB bersama salah seorang staf saya di Kementerian Kominfo BEM ITS : Fuad Khanand.

Beliau memiliki nama asli Sayyid Ali Rahmatullah, setelah diangkat menjadi anggota kerajaan Majapahit beliau dikenal dengan nama Raden Rahmat.
Untuk kisah lengkap mengenai beliau, pembaca bisa mencari di referensi lain ya, karena di tulisan ini saya tidak banyak membahas banyak tentang kisah hidup wali songo :)

Tiba di area makam kami mengambil air wudhu, sholat sunnah di masjidnya lalu mulai berziarah ke makamnya. Sekitar jam 23.30 WIB kami melanjutkan perjalanan menuju kota Gresik.

Sunan Giri

Sekitar satu jam perjalanan untuk tiba di makam Sunan Giri. Sempat kebablasan salah belok karena ini baru kali ketiga saya ziarah ke daerah Gresik.

Beliau memiliki nama asli Raden ‘Ainul Yaqin atau juga Raden Paku. Beliau juga merupakan menantu dari Sunan Ampel karena menikahi putri Sunan Ampel yaitu Dewi Murtasiha.

Tiba di masjidnya ternyata gerbang masjid ditutup, jadi kami langsung menuju area makam untuk berziarah ke makam beliau. Jumlah peziarah terhitung sepi dibandingkan dengan waktu saya ziarah beberapa waktu yang lalu, mungkin karena masih dalam suasana Idul Adha jadi masjid ditutup, pasar tutup, dan peziarah sepi, mungkin ya?

Masih di kota yang sama, kami melanjutkan perjalanan ke makam Sunan Gresik.

Sunan Gresik

Beliau memiliki nama asli Maulana Malik Ibrahim. Beliau adalah seorang Walisongo yang dianggap pertama kali menyebarkan agama Islam di tanah Jawa meskipun bukan orang Jawa asli.

Disini peziarah lumayan banyak, karena kalau saya hitung ada sekitar 4 rombongan yang sedang berziarah di makam ini.

Dari sini kami melanjutkan perjalanan tengah malam ke kota Lamongan. Kalau saya lihat di google maps, waktu tempuh sekitar satu jam. Saya pun baru kali ini melakukan perjalanan dengan motor melebihi kota Gresik. Bismillah, kami hanya bermodalkan google maps di perjalanan malam ini.

Sunan Drajat

Sepanjang perjalanan Pantura (Pantai Utara Jawa) kosong sepi, alhasil motor Beat orange kesayangan saya pacu kecepatan penuh dengan kecepatan rata-rata 80-90 km/jam. Ternyata sekitar 50 menit, lebih cepat dari yang dibilang google maps, kami tiba di makam Sunan Drajat daerah Lamongan.

Tiba di area makam, suasana sangat sepi. Para penjaga parkir, penjaga area toilet sedang tertidur lelap. Ya, kami tiba disana sekitar pukul 03.15 WIB.

Beliau memiliki nama asli Raden Qasim, salah satu putra dari Sunan Ampel yang juga merupakan adik dari Sunan Bonang. Raden Qasim selain berdakwah juga menjadi pemegang kendali otonom kerajaan Demak kurang lebih selama 36 tahun dan mendapatkan gelar Sunan Mayang Madu dari Sunan Demak pada tahun 1520 Masehi.

Optimis masih kuat melanjutkan perjalanan, kami lanjut nge-gas motor dengan tujuan daerah Tuban.

Syekh Ibrahim Asmoro Qondi

Perjalanan dari Makam Sunan Drajat kesini kurang lebih 45 menit. Area makam tidak jauh dari jalan utama pantai utara, sehingga tidak sullit untuk kami menemukannya.

Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan merupakan ayah dari Sunan Ampel. Menurut cerita tutur yang berkembang di masyarakat, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikisahkan tidak lama berdakwah di Gesik. Sebelum tujuannya ke ibukota Majapahit terwujud, Syekh Ibrahim Asmoroqondi dikabarkan meninggal dunia. Beliau dimakamkan di Gesik tak jauh dari pantai.

Kami singgah dulu di masjidnya sambil menungu adzan Subuh. Setelah subuh kami memutuskan untuk tidur karena memang rasa kantuk sudah menyerang hebat. Lalu kami bangun sekitar pukul 07.00 WIB lalu mandi disana. Setelah bersih-bersih diri, kami baru berziarah ke makam Syekh Ibrahim.

Selesai ziarah, sekitar jam 09.00 WIB kami melanjutkan perjalanan dengan tujuan makam Sunan Bonang di kota Tuban.

Sunan Bonang

Perjalanan kesini dari makam Syekh Ibrahim hanya sekitar 10 menit. Lokasinya dekat dengan alun-alun dan Masjid Agung kota Tuban.

Beliau memiliki nama asli Syekh Maulana Makdum Ibrahim yang juga merupakan putra dari Sunan Ampel yang diberi perintah untuk melaksanakan dakwah mengajarkan agama Islam di daerah Rembang, Lasem dan daerah Tuban.

Selesai ziarah, kami mecari sarapan di pasar area ziarah. Menikmati sepiring nasi kearifan lokal daerah Tuban. Akhirnya, kami menyelesaikan rangkaian perjalanan ziarah 5 wali dan Syekh Ibrahim Asmoro Qondi sekitar pukul 09.10 WIB.

Kami pun bergegas melakukan perjalanan kembali ke Surabaya, namun jalurnya lewat tengah, bukan lewat Pantura lagi. Total waktu yang dibutuhkan mulai dari kota Tuban hingga sampai di Surabaya daerah Sukolilo sekitar 2 jam 30 menit, lebih cepat 30 menit dari yang dikasih tau sama google maps yaitu 3 jam. Memang motor terus dipacu dengan kecepatan diatas 80 km/jam.

Saya rasa sekian cerita perjalanan ziarah kali ini, kaalu pembaca ada pendapat ataupun punya pengalaman yang lebih menarik tentang ziarah, boleh banget komentar di kolom komentar di bawah ini hehe

Saya undur diri, Wassalamu’alaikum!