Malam hari ini tidak seperti malam hari sebulan yang lalu, ketika itu selepas sholat Isya masjid masih ramai dengan jama’ah yang melaksanakan sholat sunnah, dengan tausyiah rutinnya yang sering mengetuk hati kita untuk selalu meningkatkan taqwa, sepulangnya dari masjid pun rumah ataupun kamar tidak sepi karena terlantun ayat-ayat suci Al-Quran, semangat mengkhatamkan terasa menggebu dalam hati.

Siang hari ini tidak seperti siang hari sebulan yang lalu, ketika itu kerongkongan terasa kering karena beberapa jam tidak dilewati cairan, ada juga yang menghabiskan siang harinya dengan beribadah lelap diatas kasur kesayangannya, para pekerja di lapangan pun tetap semangat bekerja meskipun terik menyengat karena mereka yakin akan ada pahala besar sebagai ganjaran atas usaha “menahan”-nya.

Sore hari ini tidak seperti sore hari sebulan yang lalu, ketika itu di pinggiran jalan banyak orang berlalu lalang yang istilahnya ngabuburit, tak ketinggalan seorang mahasiswa bersama teman-temannya “berburu” takjil ke masjid sekitaran kampus, ada juga yang sejak siang hari tadi membantu orang tuanya menggoreng bakwan untuk dijual sebagai menu berbuka di pinggiran jalan.

Sungguh pemandangan yang biasa kita temui sebulan yang lalu. Namun semua berubah ketika hilal mulai terlihat. Pertanda bahwa Ramadhan harus pergi dengan diiringi Hari Kemenangan.

Pertanyaannya

Apakah kita benar-benar menang?
Kalau iya, apakah kemenangan itu hanya sesaat saja?

Ada ungkapan bahwa mempertahankan lebih sulit daripada menggapainya. Saya rasa itu benar-benar terbukti pada hari ini. Rasanya sulit untuk mempertahankan tingkat konsistensi ibadah di hari ini sesuai dengan ibadah di hari pada bulan lalu. Padahal waktu yang dimiliki sama-sama 24 jam. Entah sholat subuh yang kesiangan, sholat malemnya kelewatan, sholat wajibnya entar-entaran, jarang buka Al-Quran, males dengerin tausyiah agama, buka-bukaan aurat yang sebelumnya udah tertutup, dan lain sebagainya.

Coba kita anggap Ramadhan itu sebagai “Sekolah Ibadah”. Selama sebulan penuh kita dididik untuk memperbanyak sholat, puasa, sedekah, dan ibadah-ibadah lainnya.

Satu pesan yang selalu saya dapatkan ketika bertemu Guru saya di Jakarta adalah “Sebaik-baiknya kamu waktu di sekolah, tidak berarti apa-apa kalau kamu tidak bisa mengimplementasikan ilmu yang didapat kepada masyarakat”. Beliau selalu menyampaikan hal ini, entah secara tersurat maupun tersirat.

Jangan hanya membanggakan prestasi ketika berada di sekolah, justru setelah lulus dari sekolah itulah kemampuan pribadi akan diuji. Jangan hanya membanggakan kualitas ibadah waktu bulan Ramadhan, justru di bulan-bulan lainlah tingkat keimanan kita akan diuji.

Oleh karena itu, mari sama-sama kita mempertahankan konsistensi ibadah seperti pada bulan Ramadhan, kalau bisa malah ditingkatkan. Sehingga kita benar-benar menang, dalam arti menang untuk melawan godaan syaithan, menang untuk menahan hawa nafsu, dan tentunya kemenangan itu bukan hanya sesaat, melainkan selama 11 bulan. Hingga nantinya kita disekolahkan lagi oleh Ramadhan di tahun berikutnya.

Sebagai pengingat untuk diri saya sendiri.
Wallahul muwaffiq ila aqwamith-thariq.