“Tiiinn tiinnnnn!!” Suara klakson itu membawaku kembali ke alam sadar dari lamunan singkat di persimpangan jalan raya ini. Padahal sepintas kutatap lampu masih menyala kuning. Memang, kota ini dalam beberapa bulan terakhir sudah mirip dengan ibukota, semrawut. Jalan raya padat disertai dengan para pengendara yang sok-sokan jadi Raja Jalanan. Atau mungkin mereka menganggap garis zebra cross ini sebagai garis start di sirkuit balap.

Entah mengapa, sejak pagi hingga sore ini rasanya tidak karuan. Belum dapat orderan, bensin habis di tengah jalan. Salahku juga sih akibat indikator penunjuk bensin di motor ini mati belum sempat diservis, jadi aku tidak tahu berapa volume bensin yang tersisa. Giliran dapat orderan, tiba-tiba di-cancel sama pelanggan. Katanya aku datangnya kelamaan. Padahal jalanan ke arah pelanggan itu macet, akibat ada penggalian saluran air di pinggiran jalan. Oleh karena pikiran dan jalan raya yang semrawut, tanpa kusadari aku malah hampir melalaikan sholat Zhuhur. Aku sempat sholat di musholla pinggir jalan, walaupun selepas tahiyat akhir, adzan Ashar berkumandang. Akhirnya setelah Ashar aku memutuskan untuk pulang saja menemani si kecil, Humaira, yang besok pagi akan ikut lomba membaca puisi dalam rangka Hari Sumpah Pemuda di sekolahnya.

“Assalamu’alaikum” Salamku sambil meletakkan helm di atas rak sepatu dan membuka pintu rumah.
“Waalaikumsalam… papah ko udah pulang ci?” Sosok mungil berpipi kemerahan itu berlari kecil menghampiri, dan memeluk kakiku. Itulah salah satu alasan mengapa kuberi nama dia Humaira–artinya yang berpipi kemerahan–tapi kami lebih suka memanggilnya dengan nama Lala.
“Iya lala, papah sengaja pulang cepet supaya bisa bantu bikinin puisi yang bagus, dan lala bisa jadi juara di lomba puisi besok!” Jawabku sambil menggendong peri cilik penghilang rasa seharian letihku.
“Yeeey horee!” Jawabnya kegirangan sambil meminta turun supaya ia bisa berlari menghampiri mamahnya yang sedang sibuk di dapur. Meskipun rumah ini tidak seberapa besar, namun dengan tubuhnya yang kecil, Lala masih bebas berlarian kesana kemari. Mungkin itu jadi salah satu hobinya juga di rumah ini.

“Eh abang udah pulang” Sapa permaisuri rumah ini, karena dia melihat bayanganku dari balik gorden menuju dapur.
“Iya dek, lagi pengen aja pulang cepet” Aku menjawab sambil menyingkap gorden diiringi dengan senyum simpul, walaupun aku yakin senyum ini tidak bisa menutupi semrawutnya pikiran dan jalanan hari ini.
“Hari ini orang PLN udah kasih surat lagi dek?”
“Tadi siang bang.. surat peringatan pemutusan listrik, lanjutan dari surat beberapa waktu yang lalu”
“Terus pas kasih surat itu, orangnya bilang sesuatu lagi gak?”
“Gak kok bang.. yaudah nanti aja mikirin itu, mending sekarang abang mandi dulu, terus nyemil singkong rebus sama teh anget nih, spesial buat ngilangin bala’ dari jalanan, hehe” Jawabnya dengan senyuman khas, tentunya dengan lesung pipit yang melipatgandakan manis wajahnya.
“Ohiya satu lagi dek”
“Apa tuh bang?” selidiknya dengan nada datar, aku rasa ia sudah paham dengan apa yang akan aku katakan.
“Hari ini abang gak dapet orderan sama sekali, jadi buat uang belanja besok pake yang di tabungan dulu ya. Apalagi besok abis pulang sekolahnya Lala kan kita janji ngajak Lala buat makan-makan enak” Aku menyampaikan kata per kata dengan hati-hati, takut menyakiti hatinya, karena bagaimanapun itu adalah tanggung jawab utamaku menjamin kelangsungan hidup keluarga kecil ini.

Dan lagi-lagi, jawaban yang terucap dari bibirnya membuat seisi ruangan lengang, bahkan aku yakin jawabannya itu sempat menggetarkan pintu-pintu langit.
“Abang gak usah takut, gak usah khawatir. Rezeki kita udah diatur sama Allah SWT bang. Abang hari ini gak dapet orderan bukan berarti keluarga ini gak dapet rejeki. Abang pulang ke rumah dengan selamet aja itu udah rejeki buat adek, buat Lala juga. Ini adek bikinin cemilan sama teh anget juga apa namanya kalau bukan rejeki dari Allah, ya kan bang… Jangan merasa bersalah ya, Allah gak akan kasih cobaan melebihi kemampuan hambanya, dan kita hadapin cobaan ini bareng-bareng.”
Dia adalah permaisuri rumah yang merangkap sebagai bidadari surga kelak. Aku tahu betul dibalik senyumnya tersimpan banyak keresahan. Keresahan yang selalu ia tumpahkan dalam sujud panjangnya di sepertiga malam. Dan senyumnya lah yang menguatkanku untuk bersama dengannya menghadapi keresahan sebagai bentuk ikhtiar, menjalani kehidupan dengan memperbanyak ibadah, untuk Lala, dan untuk generasi-generasi selanjutnya di masa mendatang.

“Kebodohanku, berusaha menata hal-hal yang sudah tertata” gumamku dalam kalbu. Kebodohanku berusaha keras mengejar nafsu duniawi yang aku kira dengan mendapatkan uang hari ini, aku akan memberikan kebahagiaan untuk mereka. Meskipun aku hampir saja melalaikan kewajibanku. Memang uang adalah hal yang mutlak diperlukan. Namun kebahagiaan tidak bisa terukur dengan uang, dan kami meyakini bahwa uang itu datang bukan karena faktor kemampuan manusia, melainkan ada kehendak-Nya diatas segalanya.


“Istirahatkan dirimu atau pikiranmu dari kesibukan mengatur kebutuhan duniamu. Sebab apa yang sudah dijamin diselesaikan oleh selain kamu, tidak usah kamu sibuk memikirkannya” - 1

“Kesungguhanmu untuk mencapai sesuatu yang telah dijamin pasti akan sampai kepadamu, dan (disertai) keteledoranmu terhadap kewajiban-kewajiban yang telah diamanatkan (ditugaskan) kepadamu, itu membuktikan butanya mata hatimu. - 2

1 dan 2, bersumber dari Kitab Al-Hikam karya Syekh Ahmad bin ‘Athaillah.

“Menghina Tuhan tak sampai harus membakar Kitab Suci-Nya. Besok kau khawatir tak bisa makan, kau sudah menghina Tuhan, C*k.” - Sudjiwo Tedjo

Jazakumullah khairul jaza’
Semoga Allah SWT senantiasa memberikan petunjuk kepada kita.
Sebagai pengingat untuk Al-Faqir sendiri.
Wallahu a’lam bish-showwaab.